Sunday, June 9, 2013

Esai BBM


Benar-benar membingungkan. Inilah barangkali suasana yang secara umum dirasakan masyarakat Indonesia saat ini bila mereka ditanya tentang tarik-ulur kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Begitu banyak wacana dan diskusi telah berlangsung di berbagai media dengan para pakar dari berbagai bidang, namun kepastian apakah harga BBM bersubsidi (premium dan solar) akan dinaikkan atau disesuaikan semakin menunjukkan ketidakjelasan. Sebelumnya, pemerintah mewacanakan kenaikan BBM bersubsidi pada 1 April 2013 yang kemudian dikoreksi. Kalangan industri dan bisnis juga telah lama mendesak agar harga BBM segera dinaikkan. Beberapa waktu lalu, menteri ESDM Jero Wacik telah mengisyaratkan bahwa kenaikan harga BBM tak dapat ditunda lebih lama lagi. Tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah adalah 1 Juni 2013. Lagi-lagi tenggat waktu ini terlampaui dan harga BBM bersubsidi tetap saja Rp. 4.500.

Alasan pemerintah menunda kenaikan ini terutama disebabkan belum ditemukan kesepakatan dengan DPR mengenai kompensasi yang akan diberikan kepada rakyat miskin yang terkena
dampak kenaikan ini. Rencanya setiap keluarga miskin akan mendapat kompensasi sebesar Rp. 150 ribu per bulan untuk menyokong mahalnya kebutuhan hidup akibat dari kenaikan yang diprediksi bakal membebani hidup mereka. Kompensasi yang berupa “balsem” (bantuan langsung sementara) ini akan diberikan kepada 15,5 juta kepala keluarga miskin selama lima bulan. Apa pun yang telah disiapkan pemerintah, ketidakpastian kenaikan harga BBM bersubsidi ini tidak hanya semakin menyengsarakan rakyat miskin, rakyat yang tergolong cukup pun menjadi korban kebijakan yang mencla-mencle ini. Keraguan dan ketidaktegasan pemerintah dalam kebijakan harga BBM bersubsidi ini berdampak bagi rakyat dan bagi para pelaku usaha.


Bagi rakyat secara umum, dampak dari ketidakpastian harga BBM ini adalah ketidakpastian harga kebutuhan pokok. Saat ini, karena rumor bahwa harga BBM bersubsidi akan naik, harga kebutuhan pokok dan sekunder lain sudah lebih dulu naik. Sejak awal tahun 2013 ini, hampir semua produk barang telah “menyesuaikan” harganya karena mengantisipasi kenaikan harga BBM. Harga barang yang telah menyesuaikan ini tidak pernah bertenggang rasa dengan kemampuan rakyat meskipun kenaikan BBM ditunda. Setelah harga BBM dinaikkan, harga kebutuhan dan produk rumah tangga lain akan semakin mahal karena produsen memiliki alasan pembenaran untuk menaikkan harga. Secara psikologis, kenaikan harga kebutuhan primer akan mendorong pula naiknya harga kebutuhan sekunder. Padahal penghasilan dan pendapatan rakyat tidak bertambah. Saat ini saja, pengeluaran kebutuhan rumah tangga telah dirasakan begitu menekan. Apalagi puasa dan lebaran sebentar lagi tiba, harga-harga kebutuhan konsumsi seperti telur, ayam, cabai, dan daging pasti akan semakin tak terjangkau. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan ini tentu sangat memberatkan rakyat.

Secara khusus bagi rakyat miskin yang berjumlah lebih dari 35 juta orang (15,5 juta KK), penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi ini semakin menyengsarakan mereka. Hampir semua harga kebutuhan pokok saat ini sudah tak terjangkau, sedangkan mereka belum mendapat “balsam” yang mereka tunggu-tunggu. Dengan “balsem” yang tak segera mereka dapatkan, mereka akan semakin terpuruk ke jurang kemiskinan yang semakin dalam. Semakin lama pemerintah menunda kenaikan BBM bersubsidi, semakin lama pula penderitaan rakyat miskin yang paling rentan terhadap kenaikan harga barang.

Bagi pelaku usaha, ketidakpastian harga BBM bersubsidi ini akan menimbulkan kesulitan mereka dalam merencanakan dan memprediksi usaha mereka. Ketidakpastian ini membuat mereka mengambil langkah antisipatif yang paling aman: menaikkan harga barang. Dunia usaha dan perdagangan tentu tidak menginginkan kerugian akibat dari kenaikan harga BBM ini. Karena itu, mereka curi start terlebih dulu dengan menaikkan harga produk mereka sebagai antisipasi atas mahalnya biaya BBM yang nanti akan mereka tanggung.

Persoalan BBM memang menjadi buah simalakama bagi Indonesia. Tidak naik, APBN akan jebol dan subsidinya semakin membebani keuangan negara. Naik, rakyat menjerit. Memang bukan kebijakan yang populer untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Tetapi ketegasan dan kepastian pemerintah patut dipertanyakan. Tanpa dua hal ini, BBM akan semakin Benar Benar Memiskiskan rakyat.

No comments:

Post a Comment